Bina Damai
PERAN AKTOR KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA DALAM BINA DAMAI
Oleh Cecep Hilman
Pendahuluan
Apakah kerukunan umat beragama itu?
Dalam BAB I Ketentuan umum Pasal 1 angka
1 disebutkan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006)
Rukun bisa diartikan hidup damai,
menjaga perdamaian menjadi tugas kita semua. Menjaga hidup damai (peacebuilding) dapat dilakukan dengan
menekankan pada dua hal yaitu, pertama,
mendorong para agamawan untuk mengartikulasikan pemahaman keagamaan yang
moderat dan sejuk. Kedua, mendorong
lahirnya sikap masyarakat pemeluk agama yang saling menghormati terhadap
pemeluk dan kelompok lain. Di sinilah tantangan dalam membangun perdamaian dan
kerukunan, di sini pulalah letak salah satu urgensi mengapa pengarusutamaan (mainstreaming) budaya damai (peacebuilding) perlu dilakukan bagi
semua pihak terkait.
Peran Aktor Kerukunan dalam Bina Damai
Konsep bina damai (peacebuilding) pertama
kali dipopulerkan oleh Bhoutros-Bhoutros Ghali, mantan Sekretaris Jendral PBB
pada tahun 1992. Menurut Bhoutros-Bhoutros Ghali, definisi bina damai (peacebuilding)
adalah: Upaya komprehensif untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur
yang mengkonsolidasikan perdamaian dan memajukan rasa percaya diri dan
kesejahteraan di antara orang-orang. Melalui perjanjian yang mengakhiri
perselisihan sipil, ini dapat mencakup pelucutan senjata dari pihak-pihak yang
sebelumnya bertikai dan pemulihan ketertiban, penahanan dan kemungkinan
pemusnahan senjata, pemulangan pengungsi, dukungan penasihat dan pelatihan
untuk personel keamanan, pemantauan pemilihan umum, upaya memajukan untuk
melindungi hak asasi manusia, reformasi atau memperkuat institusi pemerintah
dan mempromosikan proses partisipasi politik formal dan informal”.
Peacebuilding terkait
dengan dua hal esensial yaitu dekonstruksi struktur kekerasan dan
merekonstruksi struktur perdamaian, bahwa tujuan utama dari peacebuilding adalah
mencegah atau menyelesaikan konflik serta menciptakan situasi damai melalui
transformasi kultur kekerasan menjadi kultur damai. (Andi Knight)
Pengembangan budaya damai sendiri,
penting dilakukan oleh para pimpinan atau tokoh agama melalui dialog-dialog
intensif lintas agama dan keyakinan. Hal tersebut efektif bagi penyelesaian
berbagai persoalan hubungan antar umat beragama dan membangun saling pemahaman
dari adanya perbedaan-perbedaan antar agama.
Peacebuilding umumnya
dilakukan oleh aktor domestik seperti masyarakat, pemerintah, dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM), namun tidak dipungkiri aktor eksternal seperti
organisasi internasional, negara donor, dan international non-governmental
organizations (INGO’s) memiliki peranan penting dalam memfasilitasi dan
mendukung upaya peacebuilding.
Untuk daearah di Indonesia baik
provinsi maupun kabupaten/kota ada lembaga masyarrakat yang difasililitasi
pembentukannya oleh pemerintah yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ,
memiliki peran memelihara dan mengembangkan kerukunan umat beragama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapaun tugasnya:
1.
Melakukan
dialog dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat;
2.
Menampung aspirasi
ormas keagaaan dan aspirasi masyarakat;
3.
Menyalurkan
aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan
kebijakan kepala daerah;
4.
Melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang
berkaitan dengan KUB dan pemberdayaan masyarakat;
5.
Memberikan
rekomendasi tertulis atas permohonan atas permohonan pendirian rumah ibadat,
dan memberikan pendapat tertulis untuk izin sementara pemanfaaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadah yang diberikan oleh kepala daerah;dan
6.
Memberikan
pendapat atau saran dalam hal penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat
kepada kepala daerah.
Masyarakat Indonesia terdiri dari
berbagai agama dan suku bangsa. Secara sosiologis, Islam adalah agama yang
banyak dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Namun di beberapa daerah, agama
selain Islam seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu justru yang
menjadi agama mayoritas. Tidak hanya di antara agama terdapat keragaman, di
dalam setiap agama pun eksis beragam paham keagamaan dan sekte. Selain agama,
masyarakat Indonesia juga terdiri dari ratusan suku bangsa dengan bahasa dan
dialek yang berbeda-beda. Potret majemuk masyarakat Indonesia tersebut harus
dipahami oleh masyarakat sebagai mozaik dan bukti kekayaan khazanah kehidupan
masyarakat di Indonesia.
Sikap beragama yang ekstrim dan
cenderung revolusioner bahwa keyakinannya yang paling benar dan memaksa orang lain
yang tidak seagama atau sepaham untuk mengikutinya tidak mendapatkan tempat di
masyarakat. Sebaliknya, beragama secara moderat yaitu menghormati agama dan paham
keagamaan orang lain adalah sikap beragama yang harus diamalkan sehingga
tercipta kehidupan yang harmonis. Nilai yang terkandung dalam moderasi beragama
mampu mengharmonikan perjumpaan agama dan tradisi. Moderasi beragama mendorong
adaptasi hingga akulturasi budaya dan agama, dengan tidak menghilangkan hal-hal
pokok dalam agama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nilai-nilai moderasi
beragama yang memandang antara agama dan negara terdapat hubungan yang simbiosis
dan terbukti mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan menyepakati berdirinya
NKRI dengan berdasarkan Pancasila. Dalam perspektif ini agama membutuhkan
negara dan negara membutuhkan agama, sehingga bentuk negara Ketuhanan menjadi
pilihan yang paling realistis, sebagai penolakan terhadap bentuk negara sekuler
dan teokrasi.
Pencegahan Konflik
Pembedaan konflik dan kekerasan itu
menjadi landasan dari konsep pencegahan konflik dalam studi-studi konflik.
Pencegahan konflik umumnya dipahami bukan sebagai upaya untuk meniadakan
konflik, tetapi upaya mencegah penggunaan kekerasan dalam konflik. Istilah lain
yang juga kerap digunakan para ahli untuk menyebut pencegahan konflik adalah
respons dini (early response)
konflik. Austin mendefinisikan respons dini (early response) sebagai “setiap upaya yang dilakukan pada tahap
potensi terjadinya konflik bersenjata [kekerasan] yang bertujuan untuk
mengurangi, menyelesaikan atau mentransformasikan konflik” (Austin 2004).
Konflik bersifat dinamis dan
berkembang dari waktu ke waktu. Sifat dinamis konflik ini diilustrasikan oleh
para sarjana pengkaji konflik ke dalam alur perkembangan yang disebut ‘siklus
konflik’. Secara garis besar siklus konflik terbagi ke dalam beberapa fase atau
tahap: laten, permulaan konflik, eskalasi, puncak atau krisis, de-eskalasi, dan
akhir konflik. Fase laten adalah tahap ketika kondisi yang berpotensi
melahirkan konflik belum disadari para pihak, atau sebagian pihak mungkin telah
menyadarinya tetapi tidak tahu apa yang harus atau dapat diperbuat. Pada tahap
inilah para pengkaji umumnya memandang penting peran pencegahan konflik (conflict prevention).
Jika pencegahan konflik atau respons
dini tidak dilakukan atau gagal dilakukan, maka kondisi itu umumnya akan
mendorong munculnya fase berikut, yaitu terbentuknya konflik (conflict formation). Fase lahir atau
terbentuknya konflik adalah tahap ketika satu pihak mulai menyatakan keluhan
atau keberatan terhadap pihak lainnya terkait isu konflik tertentu. Pada fase
ini keluhan atau keberatan itu umumnya masih disampaikan secara individual,
belum dilakukan secara kolektif atau terorganisasi. Fase ini juga ditandai
dengan beredarnya rumor, berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya atau
bahkan informasi palsu. Dengan kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi,
rumor, informasi palsu atau berita yang belum bisa dipastikan kebenarannya
dapat menyebar dengan sangat cepat dan, jika tak tertangani dengan baik, dapat
menjadi pemicu eskalasi konflik.
Fase eskalasi adalah tahap ketika
salah satu pihak berkonflik telah mengekspresikan tuntutan terhadap pihak lain
dalam bentuk aksi yang lebih terorganisasi. Bentuk aksi untuk mengekspresikan
tuntuan itu disebut Tilly (2008) sebagai cara laku bertikai (contentious performance). Dari segi
jenisnya, cara laku bertikai dapat berupa aksi damai atau nirkekerasan, aksi
disruptif dan aksi kekerasan. Dari segi bentuk, laku bertikai dapat berupa
delegasi atau pengaduan, pernyataan/siaran/jumpa pers, dan demonstrasi/pawai.
Seiring dengan meningkatnya situasi konflik, laku bertikai dapat berubah dari
yang bersifat nirkekerasan menjadi disruptif, sebelum akhirnya berkembang
menjadi kekerasan. Beberapa
bentuk laku bertikai disruptif atau konfrontasional adalah pendudukan,
blokade jalan, dan aksi mogok. Adapun beberapa bentuk laku bertikai kekerasan
adalah penyerangan terhadap orang, seperti penganiayaan dan pembunuhan, maupun
penyerangan terhadap barang, seperti pembakaran dan peledakan/pengeboman.
Jika kondisi eskalasi tidak
tertangani, konflik akan berlanjut memasuki fase krisis. Apabila pada fase
sebelumnya ketegangan telah ditandai dengan munculnya aksi-aksi kekerasan
secara sporadis, fase krisis ditandai dengan aksi kekerasan yang massif dan
meluas. Contohnya adalah huru-hara dan perang. Ketika konflik telah memasuki
fase krisis, tindakan intervensi yang umum dilakukan adalah penghentian
kekerasan (conflict termination) oleh
aparat keamanan, baik dilakukan dengan penggunaan kekuatan (represi) atau
melalui persuasi.
Apabila intervensi penghentian
kekerasan berhasil, kekerasan mereda dan ketegangan antara para pihak
berkonflik menurun, konflik memasuki fase de-eskalasi. Dalam fase ini, selain
upaya memelihara perdamaian (peacekeeping),
pihak ketiga (pemerintah maupun nonpemerintah) berupaya melakukan mediasi atau
dialog dengan melibatkan para pihak berkonflik untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian konflik. Jika mediasi atau dialog dapat menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima para pihak berkonflik, konflik memasuki fase akhir konflik.
Apabila kesepakatan tidak bisa sepenuhnya memuaskan para pihak berkonflik, kondisi
itu akan menyediakan benih-benih baru bagi terjadinya konflik di masa
mendatang.
Penutup
Kerukunan menjadi modal dasar bagi
pembangunan Indonesia, maka memelihara kerukunan menjadi upaya kita bersama
umat beragama dan pemerintah. Istilah pemeliharaan digunakan menunjukkan
keaktifan masyarakat (umat beragama) untuk mempertahankannya, sesuatu yang
telah ada yaitu kerukunan. Karena jika hal itu terganggu dan bahkan menyebabkan
konflik kekerasan maka yang akan hancur dan rugi adalah kita semua sebagai
bangsa. Mari menyongyong Indonesia Maju dengan memelihara dan mengembangkan
kerukunan.
trimakasih kiyai ilmunya mantep
BalasHapusmantap pisan euuy...
BalasHapussukses selalu pak kyai
BalasHapusMemang Kerukunan sangat urgent di negara yang pluralistis ini pak. Mksh tausiyahnya
BalasHapusBanget ilmunya trimakasih
BalasHapusMantap...
BalasHapuskeren pak kyai,,,,
BalasHapusMantap
BalasHapusTerimakasih pak haji akn ilmu dan pencerahan nya
BalasHapustrimakasi ilmu nya bermanfaat pa kyai..
BalasHapus