Wawasan Kebangsaan

 

Wawasan Kebangsaan




A.  DESKRIPSI MATA DIKLAT

1.    Kompetensi Dasar (KD)
             ·  Pengetahuan: Peserta mampu memahami wawasan kebangsaan
             ·  Keterampilan: Peserta mampu meyajikan konsep wawasan kebangsaan
2.    Indikator:
Peserta dapat memahami wawasan kebangsaan dan urgensinya dalam mewujudkan ketahanan nasional.

3.    Cakupan Materi
Secara umum, mata diklat ini akan mendiskusikan wawasan kebangsaan yang bisa diartikan sebagai cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Mata diklat ini terdiri dari 5 (lima) materi yaitu: (1) Sejarah  pendirian bangsa, (2) Konsep negara dan bangsa, (3) Empat pilar kebangsaan, (4) Identifikasi nilai-nilai kejuangan kontemporer, dan (5) Daya saing nasional.

B.   URAIAN MATERI DAN RUJUKAN PUSTAKA
1.    Pokok Bahasan :
a.          Sejarah Pendirian Bangsa
Sejarah bangsa Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang, yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan,
dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sampai dengan era mengisi kemerdekaan.
Berdirinya Indonesia sebagai Negara, diawali saat Soekarno membacakan “Proklamasi” pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya
Menjelang kemerdekaan beberapa tokoh Islam terlibat dalam perumusan kemerdekaan Indonesia melalui wadah BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan). Isu paling krusial dalam dalam perdebatan-perdebatan tersebut adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang akan lahir. Pada 9 April 1945, BPUPK (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “di kelak kemudian hari”.
Anggota BPUPK dilantik tanggal 28 Mei 1945, antara 29 Mei – 1 Juni 1945 diselenggarakan sidang-sidang pertama yang ternyata berlangsung cukup hangat. Anggota BPUPK semula berjumlah 60, kemudian bertambah 8, menjadi 68 orang. Dari jumlah tersebut menurut Prawoto Mangkusasmito, hanya 20% saja dari 68 orang itu yang benar- benar mewakili aspirasi politik Islam. Pengertian aspirasi kelompok Islam di sini adalah mereka yang mengusulkan Islam sebagai dasar filosofis negara yang hendak didirikan (Prawoto dalam Ma’arif. 1996: 27).
Tugas BPUPK adalah merumuskan bentuk negara, batas negara, filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Pada awalnya diskusi dalam rapat-rapat tidak menemui kesulitan, tapi ketika dasar falsafat negara dibawa ke permukaan sidang, suasana jadi tegang, intens, dan sangat serius. Setelah bergumul selama 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 sebuah sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta, Pancasila diterima sebagai dasar negara, tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi kalimat pengiring “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya”. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, dengan pertimbangan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain, akhirnya anak kalimat pengiring itu pada tanggal 18 Agustus 1945 di buang dari pembukaan UUD 1945. Dalam pembahasan tentang UUD di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) terjadilah pencoretan anak kalimat pengiring Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam pembukaan UUD maupun Pasal 29 ayat 1.
Dalam Majelis Konstituante, politisi terbagi dalam tiga kelompok ideologi, yaitu Nasionalisme, Komunisme, dan Islamisme. Kaum Nasionalis ingin agar Pancasila dipertahankan sebagai landasan filosofis Negara. Kaum komunis menuntut sebuah Negara Marxis sebagaimana model yang dikembangkan Uni Sovyet. Sedangkan kaum Islamis ngotot menengok kembali kepada gagasan Negara Islam. Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerisme atau Marxismenya, barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Dengan penuh kebijaksanaan, para pendiri bangsa (the founding fathers) ketika itu kemudian menerima Pancasila dan UUD1945 sebagai prinsip dasar bernegara. Para pendiri NKRI itu, dalam proses sidang-sidang di BPUPK yang cukup ‘panas’, akhirnya sepakat mendirikan negara dengan asas Pancasila dan UUD 1945.
Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Kedua), serta pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Sementara itu, pada 7 Agustus 1949 Kartosoewiryo mendeklarasikan berdirinya NII, untuk mewujudkan cita-citnya itu, Kartosoewiryo juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan mengangkat senjata. Era merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

                           b.  Konsep Negara dan Bangsa
Bangsa (nation) mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki identitas kebangsaan yang sama. Identitas bersama itu bisa dibangun berdasarkan kesamaan bahasa, sejarah, budaya, atau sekadar karena fakta bahwa sekelompok orang itu menempati wilayah yang sama. Hal ini berbeda dari negara (state), yang mengacu kepada batas-batas wilayah di mana sebuah bangsa berada. Dengan kata lain, negara adalah sebuah unit politik dan administratif yang independen, dengan batas-batas yang relatif jelas, yang berhasil mendapatkan pengakuan akan loyalitas dari penduduk yang kemudian menjadi warganegaranya.
Dalam beberapa kasus seperti Jepang dan Swedia, ada korespondensi antara keanggotaan dalam sebuah bangsa dan keanggotaan dalam sebuah negara. Kasus-kasus seperti ini disebut sebagai “negara- bangsa” (nation-state), di mana bangsa identik dengan negara.
Dewasa ini, kita cenderung melihat fenomena di atas sebagai sesuatu yang lumrah. Tapi sebenarnya ada beberapa variasi yang penting dicatat:
               Sebagian negara di dunia didiami bangsa atau suku-bangsa yang beragam (misalnya Kanada atau bekas Uni Soviet). Bangsa-bangsa itu sebenarnya bersifat multi-bangsa, atau multinational. Indonesia juga demikian.
             Sebaliknya, ada bangsa yang lebih besar dari negara aktualnya, seperti bangsa Jerman atau China. Demikianlah, misalnya, kita dapat menemukan bahwa orangorang China ada di mana-mana, dari New York di Amerika Serikat hingga Tangerang di Indonesia.
              Selain itu, ada bangsa yang sama, yang terbelah ke dalam dua atau lebih negara, karena alasan-alasan politik tertentu. Misalnya adalah bangsa Korea dewasa ini, yang terpecah ke dalam Korea Selatan dan Korea Utara.
               Beberapa kelompok manusia yang mengklaim diri sebagai bangsa pada kenyataannya tidak memiliki negara sama sekali. Mereka disebut “bangsa tanpa negara” (stateless nations). Contohnya bangsa Kurdi hingga sekarang. Dalam kasus-kasus yang terakhir disebutkan, bangsa dan negara tidak berjalan seiring. Hal itu bisa menimbulkan konflik- konflik politik yang berdarah-darah, tapi bisa juga menjadi sumber keragaman yang saling memperkaya.



                           c.   Empat Pilar Kebangsaan

Para pendiri Negara dengan sangat cemerlang mampu menyepakati pilihan yang pas tentang bentuk dan dasar negara sesuai dengan karakter bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat nilai-nilai yang menjadi perekat dan pengikat kerukunan bangsa selama berabad-abad bangsa Indonesia mendiami kepulauan nusantara. Kristalisasi nilai-nilai itu berhasil digali dan kemudian ditetapkan sebagai dasar negara, sebagaimana termaktub dalam Pembukaaan UUD 1945.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, ada empat konsep pokok dari keberadaan Negara Indonesia yang berhasil disepakati yaitu, pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalah bentuk sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara yang terdiri dari lima prinsip dasar. Lima prinsip itu diletakkan sebagai prinsip-prinsip pokok dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi Negara sebagai landasan konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Keempat, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan dari fakta adanya kemajemukan suku, bahasa, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu merupakan anugerah yang harus dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan.
                           d.  Identifikasi Nilai-Nilai Kejuangan Kontemporer

Dari segi semantik nilai-nilai kejuangan terdiri dari dua istilah yaitu “Nilai” dan “Kejuangan”. Definisi nilai kejuangan: adalah konsep yang berkenaan dengan sifat, mutu, keadaan tertentu yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan yang menyangkut upaya tak kenal lelah untuk tetap eksis secara bermartabat.

Dalam sejarah Indonesia nilai kejuangan dimaksudkan untuk menggambarkan daya dorong perlawanan dan pendobrak yang mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda dan Jepang. Jaman sekarang perjuangan diletakkan pada membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan, penurunan kualitas mental/moral.

Nilai kejuangan yang melandasi perjuangan bangsa Indonesia tercantum dalam Pancasila dan UUD 45 yang menggambarkan daya dorong perlawanan untuk bebas dari penjajahan, berupa upaya dari generasi ke generasi untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan para generasi sebelum kita perlu diwariskan agar proses perkembangan dan pembangunan bangsa ini berlangsung terus menerus dan tidak memudar.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nilai kejuangan dimaksudkan untuk menggambarkan daya pendorong, pelawan, dan pendobrak yang mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dan penjajahan dan bebas merdeka. Nilai kejuangan diletakkan pada upaya selama bergenerasi-generasi untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan seperti ini dimiliki oleh generasi pra 45 dan generasi 45. Nilai kejuangan ini mewaris terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Semangat juang 45, adalah semangat untuk berjuang bersama tanpa pamrih mengusir penjajah. Setelah merdeka semangat kejuangan itu tetap relevan guna membangun segala sesuatu yang dicita-citakan, yaitu memberantas kemiskinan, kebodohan, menegakkan kehidupan bersama yang jujur, melawan korupsi dan ketidakadilan merupakan sebuah “maha karya” dalam upaya membangun karakter bangsa (nation and character building). Nilai-nilai kejuangan Angkatan 45 di tengah-tengah kehidupan yang semakin kompleks dewasa ini memang dirasakan kian kehilangan makna. Peringatan untuk mengenang perjuangan mereka yang telah menyerahkan jiwa-raga demi kejayaan bangsa, nyaris tidak lagi menarik minat generasi muda.

Generasi penerus bangsa sekarang ini sebagai pelaksana cita-cita pahlawan agar bentuk NKRI tetap utuh dibawah Pancasila dan UUD 1945 harus mewarisi semangat juang para leluhur yang dengan segala daya upaya rela berkorban demi masa depan bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa harus memiliki tekad dan semangat nilai-nilai juang 45 agar tidak gampang terbawa arus yang sudah mulai memasuki sendi-sendi kehidupan generasi muda.

                         e.  Daya Saing Nasional

Krugman (1994) mengungkapkan bahwa “daya saing merupakan kemampuan kita menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam persaingan internasional, dan dalam waktu bersamaan warga negara juga menikmati suatu standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan (sustainable). Porter dan Ketels (2003) menekankan bahwa untuk memahami daya saing, titik awalnya adalah sumber dari kesejahteraan/kemakmuran bangsa.

Dengan demikian, daya saing menyangkut arti elemen produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial.

Negara-negara di dunia berlomba untuk meningkatkan daya saing nasioalnya demi kemakmuran dan menaikkan standar serta kualitas hidup rakyatnya. Daya saing nasional yang tinggi akan berujung kepada pendapatan perkapita yang tinggi. Sebagai contoh, Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Jerman, Korea Selatan, Singapura, dan beberapa Negara maju lainnya. Walaupun biaya hidup di Negara tersebut tinggi, rakyatnya mampu membayar.

Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) yang merilis indeks daya saing global tahun 2018 dengan laporan bertajuk Global Competitiveness Report dilaporkan pada Rabu (17/10/2018), peringkat daya saing Indonesia ada pada peringkat 45 dari 140 negara. Pemerintah mengharapkan, hal ini harus diubah lewat program nasional Making Indonesia 4.0. Melalui berbagai upaya yang telah disiapkan, diharapkan tahun 2030 Indonesia menjadi 10 besar di dunia dan pada tahun 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia nomor 4 di dunia.
2.    Rujukan Pustaka

Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa.
Jakarta: LP3ES.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Latif, Yudi. 2017. Negara Paripurna, Historitas, Rasonalitas, dan Aktualitas.
Jakarta: Gramedia
Maarif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Notosusanto, Nugroho. 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969.
Jakarta: Balai Pustaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Zona Integritas

Penghulu dan Keluarga Sakinah

Kebangkitan Penyuluh