Wawasan Kebangsaan
Wawasan Kebangsaan
A. DESKRIPSI
MATA DIKLAT
1. Kompetensi
Dasar (KD)
· Pengetahuan:
Peserta mampu memahami wawasan kebangsaan
· Keterampilan:
Peserta mampu meyajikan konsep wawasan kebangsaan
2. Indikator:
Peserta
dapat memahami wawasan kebangsaan dan urgensinya dalam mewujudkan ketahanan
nasional.
3.
Cakupan Materi
Secara
umum, mata diklat ini akan mendiskusikan wawasan kebangsaan yang bisa diartikan
sebagai cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan
dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
Mata
diklat ini terdiri dari 5 (lima) materi yaitu: (1) Sejarah pendirian bangsa, (2) Konsep negara dan
bangsa, (3) Empat pilar kebangsaan, (4) Identifikasi nilai-nilai kejuangan
kontemporer, dan (5) Daya saing nasional.
B. URAIAN MATERI DAN RUJUKAN PUSTAKA
1. Pokok
Bahasan :
a.
Sejarah Pendirian Bangsa
Sejarah bangsa Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat
panjang, yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan,
dilanjutkan dengan
era merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sampai dengan era mengisi
kemerdekaan.
Berdirinya Indonesia sebagai Negara, diawali saat Soekarno
membacakan “Proklamasi” pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabar mengenai proklamasi
menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada
masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya
langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya
Menjelang kemerdekaan beberapa tokoh Islam terlibat dalam
perumusan kemerdekaan Indonesia melalui wadah BPUPK (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan). Isu paling krusial dalam dalam perdebatan-perdebatan
tersebut adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang akan lahir.
Pada 9 April 1945, BPUPK (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) dibentuk sebagai
realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “di kelak
kemudian hari”.
Anggota BPUPK dilantik tanggal 28 Mei 1945, antara 29 Mei –
1 Juni 1945 diselenggarakan sidang-sidang pertama yang ternyata berlangsung
cukup hangat. Anggota BPUPK semula berjumlah 60, kemudian bertambah 8, menjadi
68 orang. Dari jumlah tersebut menurut Prawoto Mangkusasmito, hanya 20% saja
dari 68 orang itu yang benar- benar mewakili aspirasi politik Islam. Pengertian
aspirasi kelompok Islam di sini adalah mereka yang mengusulkan Islam sebagai
dasar filosofis negara yang hendak didirikan (Prawoto dalam Ma’arif. 1996: 27).
Tugas BPUPK adalah merumuskan bentuk negara, batas negara,
filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam
konstitusi. Pada awalnya diskusi dalam rapat-rapat tidak menemui kesulitan,
tapi ketika dasar falsafat negara dibawa ke permukaan sidang, suasana jadi
tegang, intens, dan sangat serius. Setelah bergumul selama 21 hari, akhirnya
pada 22 Juni 1945 sebuah sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara
dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan
Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta, Pancasila diterima sebagai dasar
negara, tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping
ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi kalimat pengiring
“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan
selama 57 hari, dengan pertimbangan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain,
akhirnya anak kalimat pengiring itu pada tanggal 18 Agustus 1945 di buang dari
pembukaan UUD 1945. Dalam pembahasan tentang UUD di PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) terjadilah pencoretan anak kalimat pengiring Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, baik dalam pembukaan UUD maupun Pasal 29 ayat 1.
Dalam Majelis Konstituante, politisi terbagi dalam tiga
kelompok ideologi, yaitu Nasionalisme, Komunisme, dan Islamisme. Kaum
Nasionalis ingin agar Pancasila dipertahankan sebagai landasan filosofis
Negara. Kaum komunis menuntut sebuah Negara Marxis sebagaimana model yang
dikembangkan Uni Sovyet. Sedangkan kaum Islamis ngotot menengok kembali kepada
gagasan Negara Islam. Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya
dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerisme atau Marxismenya, barang kali
sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Dengan penuh kebijaksanaan, para
pendiri bangsa (the founding fathers)
ketika itu kemudian menerima Pancasila dan UUD1945
sebagai prinsip dasar bernegara. Para pendiri NKRI itu, dalam proses
sidang-sidang di BPUPK yang cukup ‘panas’, akhirnya sepakat mendirikan negara
dengan asas Pancasila dan UUD 1945.
Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda
yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada
tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda
Kedua), serta pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir
Syarifuddin pada tahun 1948. Sementara itu, pada 7 Agustus 1949 Kartosoewiryo
mendeklarasikan berdirinya NII, untuk mewujudkan cita-citnya itu, Kartosoewiryo
juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan mengangkat senjata. Era
merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya
dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
b.
Konsep Negara
dan Bangsa
Bangsa (nation)
mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki identitas kebangsaan yang sama.
Identitas bersama itu bisa dibangun berdasarkan kesamaan bahasa, sejarah,
budaya, atau sekadar karena fakta bahwa sekelompok orang itu menempati wilayah
yang sama. Hal ini berbeda dari negara (state),
yang mengacu kepada batas-batas wilayah di mana sebuah bangsa berada. Dengan
kata lain, negara adalah sebuah unit politik dan administratif yang independen,
dengan batas-batas yang relatif jelas, yang berhasil mendapatkan pengakuan akan
loyalitas dari penduduk yang kemudian menjadi warganegaranya.
Dalam beberapa kasus seperti Jepang dan Swedia, ada
korespondensi antara keanggotaan dalam sebuah bangsa dan keanggotaan dalam
sebuah negara. Kasus-kasus seperti ini disebut sebagai “negara- bangsa” (nation-state), di mana bangsa identik
dengan negara.
Dewasa ini, kita cenderung melihat fenomena di atas sebagai
sesuatu yang lumrah. Tapi sebenarnya ada beberapa variasi yang penting dicatat:
•
Sebagian
negara di dunia didiami bangsa atau suku-bangsa yang beragam (misalnya Kanada
atau bekas Uni Soviet). Bangsa-bangsa itu sebenarnya bersifat multi-bangsa,
atau multinational. Indonesia juga demikian.
•
Sebaliknya,
ada bangsa yang lebih besar dari negara aktualnya, seperti bangsa Jerman atau
China. Demikianlah, misalnya, kita dapat menemukan bahwa orangorang China ada
di mana-mana, dari New York di Amerika Serikat hingga Tangerang di Indonesia.
•
Selain itu,
ada bangsa yang sama, yang terbelah ke dalam dua atau lebih negara, karena
alasan-alasan politik tertentu. Misalnya adalah bangsa Korea dewasa ini, yang
terpecah ke dalam Korea Selatan dan Korea Utara.
•
Beberapa
kelompok manusia yang mengklaim diri sebagai bangsa pada kenyataannya tidak
memiliki negara sama sekali. Mereka disebut “bangsa tanpa negara” (stateless nations). Contohnya bangsa
Kurdi hingga sekarang. Dalam kasus-kasus yang terakhir disebutkan, bangsa dan
negara tidak berjalan seiring. Hal itu bisa menimbulkan konflik- konflik
politik yang berdarah-darah, tapi bisa juga menjadi sumber keragaman yang
saling memperkaya.
c. Empat Pilar Kebangsaan
Para pendiri Negara dengan sangat cemerlang mampu
menyepakati pilihan yang pas tentang bentuk dan dasar negara sesuai dengan
karakter bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat nilai-nilai yang menjadi
perekat dan pengikat kerukunan bangsa selama berabad-abad bangsa Indonesia
mendiami kepulauan nusantara. Kristalisasi nilai-nilai itu berhasil digali dan
kemudian ditetapkan sebagai dasar negara, sebagaimana termaktub dalam
Pembukaaan UUD 1945.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, ada empat konsep pokok
dari keberadaan Negara Indonesia yang berhasil disepakati yaitu, pertama, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalah bentuk sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara
yang terdiri dari lima prinsip dasar. Lima prinsip itu diletakkan sebagai
prinsip-prinsip pokok dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi Negara sebagai landasan
konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Keempat,
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan dari fakta adanya kemajemukan suku,
bahasa, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu merupakan anugerah yang harus
dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan.
d. Identifikasi Nilai-Nilai
Kejuangan Kontemporer
Dari segi semantik nilai-nilai kejuangan terdiri dari dua
istilah yaitu “Nilai” dan “Kejuangan”. Definisi nilai kejuangan: adalah konsep
yang berkenaan dengan sifat, mutu, keadaan tertentu yang berguna bagi manusia
dan kemanusiaan yang menyangkut upaya tak kenal lelah untuk tetap eksis secara bermartabat.
Dalam sejarah Indonesia nilai kejuangan dimaksudkan untuk
menggambarkan daya dorong perlawanan dan pendobrak yang mampu membawa bangsa
ini untuk membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda dan Jepang. Jaman
sekarang perjuangan diletakkan pada membebaskan diri dari kemiskinan,
kebodohan, penurunan kualitas mental/moral.
Nilai kejuangan yang melandasi perjuangan bangsa Indonesia
tercantum dalam Pancasila dan UUD 45 yang menggambarkan daya dorong perlawanan
untuk bebas dari penjajahan, berupa upaya dari generasi ke generasi untuk
mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan para generasi sebelum kita
perlu diwariskan agar proses perkembangan dan pembangunan bangsa ini
berlangsung terus menerus dan tidak memudar.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nilai kejuangan
dimaksudkan untuk menggambarkan daya pendorong, pelawan, dan pendobrak yang
mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dan penjajahan dan bebas
merdeka. Nilai kejuangan diletakkan pada upaya selama bergenerasi-generasi
untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan seperti ini dimiliki oleh generasi
pra 45 dan generasi 45. Nilai kejuangan ini mewaris terus menerus dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Semangat juang 45, adalah semangat untuk berjuang bersama
tanpa pamrih mengusir penjajah. Setelah merdeka semangat kejuangan itu tetap
relevan guna membangun segala sesuatu yang dicita-citakan, yaitu memberantas
kemiskinan, kebodohan, menegakkan kehidupan bersama yang jujur, melawan korupsi
dan ketidakadilan merupakan sebuah “maha karya” dalam upaya membangun karakter
bangsa (nation and character building).
Nilai-nilai kejuangan Angkatan 45 di tengah-tengah kehidupan yang semakin
kompleks dewasa ini memang dirasakan kian kehilangan makna. Peringatan untuk
mengenang perjuangan mereka yang telah menyerahkan jiwa-raga demi kejayaan
bangsa, nyaris tidak lagi menarik minat generasi muda.
Generasi penerus bangsa sekarang ini sebagai pelaksana
cita-cita pahlawan agar bentuk NKRI tetap utuh dibawah Pancasila dan UUD 1945
harus mewarisi semangat juang para leluhur yang dengan segala daya upaya rela
berkorban demi masa depan bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa harus
memiliki tekad dan semangat nilai-nilai juang 45 agar tidak gampang terbawa
arus yang sudah mulai memasuki sendi-sendi kehidupan generasi muda.
e. Daya Saing
Nasional
Krugman (1994) mengungkapkan bahwa “daya saing merupakan
kemampuan kita menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam persaingan
internasional, dan dalam waktu bersamaan warga negara juga menikmati suatu
standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan (sustainable). Porter dan Ketels (2003) menekankan bahwa untuk
memahami daya saing, titik awalnya adalah sumber dari kesejahteraan/kemakmuran
bangsa.
Dengan demikian, daya saing menyangkut arti elemen
produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu
akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar
hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Negara-negara di dunia berlomba untuk meningkatkan daya
saing nasioalnya demi kemakmuran dan menaikkan standar serta kualitas hidup
rakyatnya. Daya saing nasional yang tinggi akan berujung kepada pendapatan
perkapita yang tinggi. Sebagai contoh, Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Jerman,
Korea Selatan, Singapura, dan beberapa Negara maju lainnya. Walaupun biaya
hidup di Negara tersebut tinggi, rakyatnya mampu membayar.
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) yang merilis
indeks daya saing global tahun 2018 dengan laporan bertajuk Global
Competitiveness Report dilaporkan pada Rabu (17/10/2018), peringkat daya saing
Indonesia ada pada peringkat 45 dari 140 negara. Pemerintah mengharapkan, hal
ini harus diubah lewat program nasional Making Indonesia 4.0. Melalui berbagai
upaya yang telah disiapkan, diharapkan tahun 2030 Indonesia menjadi 10 besar di
dunia dan pada tahun 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia nomor 4 di dunia.
2.
Rujukan
Pustaka
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa.
Jakarta: LP3ES.
Asshiddiqie,
Jimly. 2007. Ideologi, Pancasila, dan
Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Latif, Yudi. 2017. Negara Paripurna, Historitas, Rasonalitas,
dan Aktualitas.
Jakarta: Gramedia
Maarif,
Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta:
Grafiti.
Notosusanto, Nugroho. 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969.
Jakarta: Balai Pustaka.
A. DESKRIPSI
MATA DIKLAT
1. Kompetensi
Dasar (KD)
· Pengetahuan:
Peserta mampu memahami wawasan kebangsaan
· Keterampilan:
Peserta mampu meyajikan konsep wawasan kebangsaan
2. Indikator:
Peserta
dapat memahami wawasan kebangsaan dan urgensinya dalam mewujudkan ketahanan
nasional.
3.
Cakupan Materi
Secara
umum, mata diklat ini akan mendiskusikan wawasan kebangsaan yang bisa diartikan
sebagai cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan
dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
Mata
diklat ini terdiri dari 5 (lima) materi yaitu: (1) Sejarah pendirian bangsa, (2) Konsep negara dan
bangsa, (3) Empat pilar kebangsaan, (4) Identifikasi nilai-nilai kejuangan
kontemporer, dan (5) Daya saing nasional.
B. URAIAN MATERI DAN RUJUKAN PUSTAKA
1. Pokok
Bahasan :
a.
Sejarah Pendirian Bangsa
Sejarah bangsa Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat
panjang, yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan,
dilanjutkan dengan
era merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sampai dengan era mengisi
kemerdekaan.
Berdirinya Indonesia sebagai Negara, diawali saat Soekarno
membacakan “Proklamasi” pada tanggal 17 Agustus 1945. Kabar mengenai proklamasi
menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada
masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya
langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya
Menjelang kemerdekaan beberapa tokoh Islam terlibat dalam
perumusan kemerdekaan Indonesia melalui wadah BPUPK (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan). Isu paling krusial dalam dalam perdebatan-perdebatan
tersebut adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang akan lahir.
Pada 9 April 1945, BPUPK (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) dibentuk sebagai
realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia “di kelak
kemudian hari”.
Anggota BPUPK dilantik tanggal 28 Mei 1945, antara 29 Mei –
1 Juni 1945 diselenggarakan sidang-sidang pertama yang ternyata berlangsung
cukup hangat. Anggota BPUPK semula berjumlah 60, kemudian bertambah 8, menjadi
68 orang. Dari jumlah tersebut menurut Prawoto Mangkusasmito, hanya 20% saja
dari 68 orang itu yang benar- benar mewakili aspirasi politik Islam. Pengertian
aspirasi kelompok Islam di sini adalah mereka yang mengusulkan Islam sebagai
dasar filosofis negara yang hendak didirikan (Prawoto dalam Ma’arif. 1996: 27).
Tugas BPUPK adalah merumuskan bentuk negara, batas negara,
filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam
konstitusi. Pada awalnya diskusi dalam rapat-rapat tidak menemui kesulitan,
tapi ketika dasar falsafat negara dibawa ke permukaan sidang, suasana jadi
tegang, intens, dan sangat serius. Setelah bergumul selama 21 hari, akhirnya
pada 22 Juni 1945 sebuah sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara
dua pola pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan
Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta, Pancasila diterima sebagai dasar
negara, tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping
ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi kalimat pengiring
“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan
selama 57 hari, dengan pertimbangan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain,
akhirnya anak kalimat pengiring itu pada tanggal 18 Agustus 1945 di buang dari
pembukaan UUD 1945. Dalam pembahasan tentang UUD di PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) terjadilah pencoretan anak kalimat pengiring Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, baik dalam pembukaan UUD maupun Pasal 29 ayat 1.
Dalam Majelis Konstituante, politisi terbagi dalam tiga
kelompok ideologi, yaitu Nasionalisme, Komunisme, dan Islamisme. Kaum
Nasionalis ingin agar Pancasila dipertahankan sebagai landasan filosofis
Negara. Kaum komunis menuntut sebuah Negara Marxis sebagaimana model yang
dikembangkan Uni Sovyet. Sedangkan kaum Islamis ngotot menengok kembali kepada
gagasan Negara Islam. Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya
dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerisme atau Marxismenya, barang kali
sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Dengan penuh kebijaksanaan, para
pendiri bangsa (the founding fathers)
ketika itu kemudian menerima Pancasila dan UUD1945
sebagai prinsip dasar bernegara. Para pendiri NKRI itu, dalam proses
sidang-sidang di BPUPK yang cukup ‘panas’, akhirnya sepakat mendirikan negara
dengan asas Pancasila dan UUD 1945.
Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda
yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada
tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda
Kedua), serta pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir
Syarifuddin pada tahun 1948. Sementara itu, pada 7 Agustus 1949 Kartosoewiryo
mendeklarasikan berdirinya NII, untuk mewujudkan cita-citnya itu, Kartosoewiryo
juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan mengangkat senjata. Era
merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya
dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
b.
Konsep Negara
dan Bangsa
Bangsa (nation)
mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki identitas kebangsaan yang sama.
Identitas bersama itu bisa dibangun berdasarkan kesamaan bahasa, sejarah,
budaya, atau sekadar karena fakta bahwa sekelompok orang itu menempati wilayah
yang sama. Hal ini berbeda dari negara (state),
yang mengacu kepada batas-batas wilayah di mana sebuah bangsa berada. Dengan
kata lain, negara adalah sebuah unit politik dan administratif yang independen,
dengan batas-batas yang relatif jelas, yang berhasil mendapatkan pengakuan akan
loyalitas dari penduduk yang kemudian menjadi warganegaranya.
Dalam beberapa kasus seperti Jepang dan Swedia, ada
korespondensi antara keanggotaan dalam sebuah bangsa dan keanggotaan dalam
sebuah negara. Kasus-kasus seperti ini disebut sebagai “negara- bangsa” (nation-state), di mana bangsa identik
dengan negara.
Dewasa ini, kita cenderung melihat fenomena di atas sebagai
sesuatu yang lumrah. Tapi sebenarnya ada beberapa variasi yang penting dicatat:
•
Sebagian
negara di dunia didiami bangsa atau suku-bangsa yang beragam (misalnya Kanada
atau bekas Uni Soviet). Bangsa-bangsa itu sebenarnya bersifat multi-bangsa,
atau multinational. Indonesia juga demikian.
•
Sebaliknya,
ada bangsa yang lebih besar dari negara aktualnya, seperti bangsa Jerman atau
China. Demikianlah, misalnya, kita dapat menemukan bahwa orangorang China ada
di mana-mana, dari New York di Amerika Serikat hingga Tangerang di Indonesia.
•
Selain itu,
ada bangsa yang sama, yang terbelah ke dalam dua atau lebih negara, karena
alasan-alasan politik tertentu. Misalnya adalah bangsa Korea dewasa ini, yang
terpecah ke dalam Korea Selatan dan Korea Utara.
•
Beberapa
kelompok manusia yang mengklaim diri sebagai bangsa pada kenyataannya tidak
memiliki negara sama sekali. Mereka disebut “bangsa tanpa negara” (stateless nations). Contohnya bangsa
Kurdi hingga sekarang. Dalam kasus-kasus yang terakhir disebutkan, bangsa dan
negara tidak berjalan seiring. Hal itu bisa menimbulkan konflik- konflik
politik yang berdarah-darah, tapi bisa juga menjadi sumber keragaman yang
saling memperkaya.
c. Empat Pilar Kebangsaan
Para pendiri Negara dengan sangat cemerlang mampu
menyepakati pilihan yang pas tentang bentuk dan dasar negara sesuai dengan
karakter bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat nilai-nilai yang menjadi
perekat dan pengikat kerukunan bangsa selama berabad-abad bangsa Indonesia
mendiami kepulauan nusantara. Kristalisasi nilai-nilai itu berhasil digali dan
kemudian ditetapkan sebagai dasar negara, sebagaimana termaktub dalam
Pembukaaan UUD 1945.
Dalam sejarah perjalanan bangsa, ada empat konsep pokok
dari keberadaan Negara Indonesia yang berhasil disepakati yaitu, pertama, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalah bentuk sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara
yang terdiri dari lima prinsip dasar. Lima prinsip itu diletakkan sebagai
prinsip-prinsip pokok dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah konstitusi Negara sebagai landasan
konstitusional bangsa Indonesia yang menjadi hukum dasar bagi setiap peraturan
perundang-undangan di bawahnya. Keempat,
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan dari fakta adanya kemajemukan suku,
bahasa, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu merupakan anugerah yang harus
dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan.
d. Identifikasi Nilai-Nilai
Kejuangan Kontemporer
Dari segi semantik nilai-nilai kejuangan terdiri dari dua
istilah yaitu “Nilai” dan “Kejuangan”. Definisi nilai kejuangan: adalah konsep
yang berkenaan dengan sifat, mutu, keadaan tertentu yang berguna bagi manusia
dan kemanusiaan yang menyangkut upaya tak kenal lelah untuk tetap eksis secara bermartabat.
Dalam sejarah Indonesia nilai kejuangan dimaksudkan untuk
menggambarkan daya dorong perlawanan dan pendobrak yang mampu membawa bangsa
ini untuk membebaskan dirinya dari penjajahan Belanda dan Jepang. Jaman
sekarang perjuangan diletakkan pada membebaskan diri dari kemiskinan,
kebodohan, penurunan kualitas mental/moral.
Nilai kejuangan yang melandasi perjuangan bangsa Indonesia
tercantum dalam Pancasila dan UUD 45 yang menggambarkan daya dorong perlawanan
untuk bebas dari penjajahan, berupa upaya dari generasi ke generasi untuk
mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan para generasi sebelum kita
perlu diwariskan agar proses perkembangan dan pembangunan bangsa ini
berlangsung terus menerus dan tidak memudar.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nilai kejuangan
dimaksudkan untuk menggambarkan daya pendorong, pelawan, dan pendobrak yang
mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dan penjajahan dan bebas
merdeka. Nilai kejuangan diletakkan pada upaya selama bergenerasi-generasi
untuk mencapai kemerdekaan. Nilai kejuangan seperti ini dimiliki oleh generasi
pra 45 dan generasi 45. Nilai kejuangan ini mewaris terus menerus dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Semangat juang 45, adalah semangat untuk berjuang bersama
tanpa pamrih mengusir penjajah. Setelah merdeka semangat kejuangan itu tetap
relevan guna membangun segala sesuatu yang dicita-citakan, yaitu memberantas
kemiskinan, kebodohan, menegakkan kehidupan bersama yang jujur, melawan korupsi
dan ketidakadilan merupakan sebuah “maha karya” dalam upaya membangun karakter
bangsa (nation and character building).
Nilai-nilai kejuangan Angkatan 45 di tengah-tengah kehidupan yang semakin
kompleks dewasa ini memang dirasakan kian kehilangan makna. Peringatan untuk
mengenang perjuangan mereka yang telah menyerahkan jiwa-raga demi kejayaan
bangsa, nyaris tidak lagi menarik minat generasi muda.
Generasi penerus bangsa sekarang ini sebagai pelaksana
cita-cita pahlawan agar bentuk NKRI tetap utuh dibawah Pancasila dan UUD 1945
harus mewarisi semangat juang para leluhur yang dengan segala daya upaya rela
berkorban demi masa depan bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa harus
memiliki tekad dan semangat nilai-nilai juang 45 agar tidak gampang terbawa
arus yang sudah mulai memasuki sendi-sendi kehidupan generasi muda.
e. Daya Saing
Nasional
Krugman (1994) mengungkapkan bahwa “daya saing merupakan
kemampuan kita menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam persaingan
internasional, dan dalam waktu bersamaan warga negara juga menikmati suatu
standar hidup yang meningkat dan berkelanjutan (sustainable). Porter dan Ketels (2003) menekankan bahwa untuk
memahami daya saing, titik awalnya adalah sumber dari kesejahteraan/kemakmuran
bangsa.
Dengan demikian, daya saing menyangkut arti elemen
produktivitas, efisiensi dan profitabilitas. Tetapi daya saing bukan suatu
akhir atau sasaran, melainkan suatu cara untuk mencapai peningkatan standar
hidup dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
Negara-negara di dunia berlomba untuk meningkatkan daya
saing nasioalnya demi kemakmuran dan menaikkan standar serta kualitas hidup
rakyatnya. Daya saing nasional yang tinggi akan berujung kepada pendapatan
perkapita yang tinggi. Sebagai contoh, Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Jerman,
Korea Selatan, Singapura, dan beberapa Negara maju lainnya. Walaupun biaya
hidup di Negara tersebut tinggi, rakyatnya mampu membayar.
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) yang merilis
indeks daya saing global tahun 2018 dengan laporan bertajuk Global
Competitiveness Report dilaporkan pada Rabu (17/10/2018), peringkat daya saing
Indonesia ada pada peringkat 45 dari 140 negara. Pemerintah mengharapkan, hal
ini harus diubah lewat program nasional Making Indonesia 4.0. Melalui berbagai
upaya yang telah disiapkan, diharapkan tahun 2030 Indonesia menjadi 10 besar di
dunia dan pada tahun 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia nomor 4 di dunia.
2.
Rujukan
Pustaka
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa.
Jakarta: LP3ES.
Asshiddiqie,
Jimly. 2007. Ideologi, Pancasila, dan
Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Latif, Yudi. 2017. Negara Paripurna, Historitas, Rasonalitas,
dan Aktualitas.
Jakarta: Gramedia
Maarif,
Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta:
Grafiti.
Notosusanto, Nugroho. 1985. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969.
Jakarta: Balai Pustaka.
Komentar
Posting Komentar